Biofuel  

Posted by Pebisnis Sejati in ,

Akhir-akhir ini ada suatu perkembangan menarik terkait dengan isu pengembangan bahan bakar nabati atau biofuel. Pada awalnya, pengembangan biofuel dilandasi pemikiran untuk mengantisipasi kelangkaan energi sebagai akibat penurunan sumber energi berbasis fosil yaitu minyak bumi (BBM). Pemikiran ini mendapat dukungan dari semua kalangan, termasuk pemerintah dengan program untuk pengembangan BBM. Rupanya, membedaki isu pengembangan biofuel dengan argumen antisipasi kelangkaan energi di masa mendatang dan sebagai upaya untuk diversifikasi, tidak cukup untuk membuatnya menjadi gadis cantik. Sebagai akibatnya, kalangan penyokong industri biofuel sepertinya sudah mulai kehilangan kesabarannya sehingga kembali mempertebal bedak biofuel dengan isu pengentasan kemiskinan. Mereka menganggap pengembangan biofuel akan dapat membantu mengurangi jumlah orang miskin di Indonesia. Banyak kalangan mulai menilai pengembangan biofuel dengan pengentasan kemiskinan merupakan politisasi isu biofuel. Pertanyaananya, apa betul pemikiran atau hipotesis tersebut? Tulisan ini mencoba mengajak berfikir jernih untuk menilai hipotesis tersebut.

Secara teoritis, jika industri biofuel terus berkembang, maka pemanfaatan produk pertanian akan menjadi semakin luas. Produk pertanian kini melayani permintaan dari pasar tradisional yaitu industri makanan, pakan, dan sandang dan pasar baru untuk industri biofuel. CPO bisa dijual ke industri minyak goreng yang berakhir di supermarket atau ke industri biofuel yang berakhir di SPBU. Tebu bisa berakhir di pasar dalam bentuk gula atau berakhir di SPBU dalam bentuk bioethanol.

Perluasan pasar produk pertanian tersebut jelas akan berdampak positif pada sektor pertanian. Peningkatan permintaan produk pertanian ini secara konsisten akan mendorong kenaikan harga dan stabilitas harga produk pertanian. Peningkatan harga dan stabilitas ini tentu akan mendorong pertumbuhan sektor pertanian dengan hasil akhir peningkatkan pendapatan dan perluasan lapangan kerja di sektor pertanian, yang umumnya berlokasi di pedesaan. Argumen ini memberi indikasi bahwa hipotesis bahwa pengembangan biofuel akan mengurangi pengangguran dan kemiskinan dapat diterima atau valid, khususnya untuk di pedesaan. Hasil studi ADB dan berbagai studi lainnya di negara-negara Asia Pasifik dapat dipergunakan untuk mendukung hipotesis tersebut. Hasil studi tersebut menyatakan bahwa setiap pertumbuhan sektor pertanian sebesar 10% akan menurunkan jumlah orang miskin di pedesaan berkisar antara 1.5% - 12.0%, atau rata-rata sekitar 7%, bergantung berbagai faktor pendukung lainnya.

Namun perlu juga dicermati bahwa kenaikan harga produk pertanian yang bisa digunakan untuk pangan dan biofuel, akan mendorong kenaikan harga pangan. Contoh paling nyata adalah kenaikan harga CPO yang lebih dua kali lipat sebagai akibat peningkatan permintaan biofuel, membuat harga minyak goreng meroket. Jika industri bioethanol berkembang, mudah ditebak bahwa harga gula akan melambung tinggi. Hal ini memberi indikasi bahwa pengembangan biofuel justru akan menambah jumlah orang miskin, khususnya di daerah perkotaan. Kenaikan harga pangan jelas akan menurunkan pendapatan riil atau daya beli masyarakat sehingga makin banyak orang yang semula tidak miskin menjadi miskin.

Situasi ini akan semakin parah bagi negara-negara yang net-importir pangan atau negara-negara yang jumlah penduduknya relatif banyak, seperti Indonesia yang masih mengimpor bahan pangan yang dapat diolah menjadi biofuel seperti gula, kedele, dan jagung. Jika situasi tersebut tidak dapat dikelola dengan baik, maka secara global, akan terjadi ”perkelahian” lebih dari 2 miliar penduduk miskin di dunia untuk memperoleh makanan dengan 800 juta mobil dan jutaan mesin/pabrik. Untuk Indonesia, situasi ini bisa menjadi ajang rebutan antara sekitar 30 juta penduduk miskin dengan pemilik mobil dan mesin di Indonesia. Pada dasarnya, ini adalah rebutan antara 2 miliar Si Miskin melawan Si Kaya yang memiliki mobil dan pabrik/mesin.

Pemenang dari perkelahian tersebut mudah ditebak yaitu Si Kaya. Jika hal ini terjadi, maka pengembangan biofuel justru akan menambah jumlah orang miskin. Pertambahan jumlah orang miskin terutama masyarakat non-pertanian, tidak hanya di perkotaan , tetapi juga di pedesaan. Belum ada studi secara empiris untuk hal ini, tetapi dampaknya diperkirakan cukup substansial. Kenaikan harga minyak goreng seperti sekarang ini sudah memberi indikasi dampak negatif dari pengembangan biofuel terhadap orang miskin.

Ada dua sari pati dari isu ini. Pertama, belum ada jaminan bahwa pengembangan biodiesel akan mengurangi kemiskinan secara nasional. Yang hampir pasti adalah pengembangan biofuel akan memidahkan kemiskinan dari desa ke kota dalam artian kemiskinan di pedesaan berkurang, sementara di perkotaan bertambah. Oleh karena itu, pengembangan biodiesel harus dikembalikan ke semangat semula yaitu antisipasi terhadap penurunan pasokan BBM berbasis fosil sekaligus upaya diversifikasi energi. Jangan lagi isu biofuel dibedaki atau bahkan dipolitisasi dengan isu pengentasan kemiskinan. Kedua, jika pemerintah akan terus mengembangan biodiesel, pemerintah harus sejak dari awal sudah mempersiapkan berbagai kebijakan untuk meminimisasi dampak negatifnya, seperti terhadap ketahanan pangan dan kemungkinan peningkatan jumlah orang miskin non-pertanian, terutama di wilayah perkotaan. Dengan dua catatan ini, semoga isu biofuel dikembalikan ke rel yang benar.

sumber:http://ipard.com

This entry was posted on Saturday, March 29, 2008 at Saturday, March 29, 2008 and is filed under , . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 comments

Post a Comment