Kenaikan Harga BBM  

Posted by Pebisnis Sejati in ,

Subsektor perkebunan tidak bisa menghindar dari melambungnya harga BBM. Dari sisi biaya produkisi, kenaikan harga BBM memberikan tekanan yang cukup signifikan terhadap subsektor perkebunan. Untungnya, melambungnya harga BBM turut mendorong kenaikan harga produk perkebunan sekaligus memberi ruang yang lebih luas untuk merlakukan diversifikasi produk. Untuk tahun 2007, melambungnya harga BBM membuat subsektor perkebunan untung, bukan buntung.

Sepanjang akhir tahun 2007 sampai dengan awal tahun 2008, harga minyak bumi (BBM) masih terus melambung tinggi mendekati US$ 100/barrel. Sebagai produk yang strategis dan urat nadi perekonimian, melambungnya harga BBM tersebut telah menimbulkan berbagai masalah seperti melambatnya pertumbuhan ekonomi, memacu inflasi serta meningkatnya jumlah pengganguran dan kemiskinan, baik pada tingkat dunia, regional, nasional, dan tentunya juga sektoral.

Subsektor perkebunan juga tidak bisa menghindar dari melambungnya harga BBM. Dari sisi biaya produksi, kenaikan harga BBM memberikan tekanan yang cukup signifikan terhadap subsektor perkebunan. Untungnya, melambungnya harga BBM turut mendorong kenaikan harga produk perkebunan sekaligus memberi ruang yang lebih luas untuk merlakukan diversifikasi produk. Dari sini jelas bahwa melambungnya harga BBM memberi tekanan sekaligus harapan pada subsektor perkebunan untuk berkembang.

Kenaikan harga BBM mendorong kenaikan biaya produksi karena subsektor perkebunan merupakan salah satu subsektor yang relatif banyak menggunakan BBM sebagai sumber energi maupun untuk transportasi, baik pada tahap proses produksi, pengolahan, dan pemasaran. Oleh karena itu, kenaikan BBM mempunyai dampak negatif yang cukup signifikan terhadap industri perkebunan utama Indonesia, seperti kelapa sawit, karet, teh, kopi, kakao, dan gula. Dalam proses produksi, subsektor perkebunan membutuhkan jasa transportasi untuk mengangkut sarana produksi, seperti pupuk, yang relatif volumnus (volume besar). Dengan demikian, biaya transportasi relatif besar. Dalam hal transportasi, semakin volumnus ( bulk ) bahan mentah yang harus diangkut, makin tinggi kontribusinya terhadap biaya transportasi, sehingga makin besarnya dampaknya terhadap biaya produksi. Produk perkebunan umumnya bersifat volumnus seperti tebu yang rendemennya hanya berkisar antara 6%-10% terhadap total berat/volume dan tandan buah segar sawit yang hanya 17%-22%. Hasil panen kakao, kopi, dan teh juga bersifat volumnus sehingga kenaikan harga BBM yang mengakibatkan kenaikan biaya transportasi, akan mempunyai pengaruh signifikan terhadap biaya produksi. Kenaikan harga BBM juga mendorong kenaikan biaya pengolahan. Walaupun beberapa proses pengolahan (gula dan CPO) secara maksimal menggunakan produk samping sebagai bahan bakar/sumber energi, solar masih tetap diperlukan sebagai sumber energi.

Dampak kenaikan harga BBM terhadap biaya produksi produk perkebunan dapat dipisahkan menjadi dua komponen yaitu komponen dampak langsung dan tidak langsung melalui inflasi. Dampak biaya langsung adalah kenaikan biaya sebagai akibat kenaikan harga BBM yang digunakan dalam bisnis perkebunan. Dampak tidak langsung adalah kenaikan harga BBM akan memicu inflasi sehingga akan mendorong kenaikan hafrga input non BBM seperti tenaga kerja, bibit, pupuk, dan sarana produksi lainnya. Untuk memberi gambaran yang lebih konkrit, disimulasikan bahwa harga BBM yang dibayar industri perkebunan meningkat sekitar 50% dari harga yang dibayarkan saat ini.

Dampak langsung akan ditentukan oleh porsi biaya BBM dalam biaya produksi yang nilainya bervariasi, tergantung pada jenis produk, teknologi, dan tingkat efisiensi manajemen. Secara umum, porsi ketiga komponen biaya tersebut berkisar antara 2.0% – 7.2% (Tabel 1). Dari segi proporsi biaya BBM terlihat bahwa produk gula dan CPO memiliki porsi terbesar yaitu 6.5% dan 7.2% dari total biaya produksi. Sebagai contoh, tebu sebagai bahan baku gula bersifat volumnus dengan rendemen terendah dibandingkan produk lainnya. Sebagai akibatnya, komponen biaya transportasi untuk bahan baku menjadi relatif paling besar. Hal yang sama juga berlaku untuk CPO yang bahan bakunya adalah tandan buah segar yang juga volumnus. Sejalan dengan porsi biaya produksi ketiga input tersebut terhadap biaya total, maka dampak langsung terbesar terjadi pada industri gula dan CPO masing-masing mengalami kenaikan biaya produksi sebesar 3.2% dan 3.6%. Dampak terhadap kopi dan kakao relatif sama yaitu kenaikan biaya produksi sekitar 1%. Dampak yang ralatif kecil terutama karena bahan bakunya yang tidak volumnus dan proses pengolahan tidak banyak memerlukan energi. Hal yang hampir sama terjadi pada teh, dengan dampak kenaikan biaya produksi antara 1.7%.

Tabel 1. Dampak Kenaikan Harga BBM (50%) terhadap Biaya Produksi
Produk Perkebunan Produk
Dampak tidak langsung dapat dilihat melalui inflasi yang mendorong kenaikan harga input lainnya. Dengan menggunakan hasil penelitian Ikshan (2005) yang menyebutkan elastisitas inflasi terhadap kenaikan harga BBM adalah 0.056, maka kenaikan harga BBM sebesar 50% akan menyebabkan kenaikan inflasi sebesar 2.8%. Dikalikan dengan proporsi biaya produksi non-BBM, maka dampak tidak langsung terhadap biaya produksi bervariasi anatar 2.6%-2.7%. Tampak jelas bahwa k arena porsi biaya non BBM jauh diatas porsi biaya BBM, kenaikan biaya produksi yang bersumber dari input non BBM menjadi lebih besar.

Menggabungkan dampak langsung dan tidak langsung, maka diperoleh dampak total dari kenaikan BBM terhadap biaya produksi yang bervariasi dari 3.8% - 6.2%. Seperti diduga, dampak kenaikan biaya produksi tertinggi diderita oleh CPO dan gula, masing-masing 5.8% dan 6.2% Yang agak moderat yaitu sebesar 4.6% dan 4.4% dialami oleh karet dan teh, sedangkan yang relatif kecil dialami oleh kopi dan kakao masing-masing sekitar 3.8%. Namun kalau dilihat dari nilai nominalnya, maka yang paling menderita dari kenaikan harga BBM adalah industri teh yang menyebabkan kenaikan biaya produksi sebesar Rp 237/kg. Industri gula juga cukup menderita dengan kenaikan biaya produksi sekitar Rp 211/kg. CPO, kopi, kakao, dan karet mengalami kenaikan biaya produksi antara Rp 150- Rp 170/kg.

Untuk mengatasi masalah tersebut, maka ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi dampak negatif tersebut, sebagai berikut.
  • Penataan secara lebih efisien sistem/manajemen panen, transportasi, dan pengolahan. Upaya ini relatif efektif untuk kebun yang hamparannya relatif terkonsolidasi dengan produk yang volumnus, seperti untuk tebu dan kelapa sawit. Upaya ini akan berhasil bila didukung juga oleh perencanaan panen dan desain pabrik pengolahan yang lebih efisien, seperti untuk tebu dan kelapa sawit.
  • Penggunaan atau peningkatan penggunaan alternatif sumber energi. Sebagai contoh, sumber energi panas yang mungkin digunakan sebagai pengganti BBM di kebun teh adalah geothermal , kayu bakar, batubara, dan solar energi. Lebih jauh g eothermal , kayu bakar dan energi matahari merupakan sumber energi panas yang ramah lingkungan dan renewable. Kakao dapat menggunakan energi matahari untuk proses pengeringan, sedangkan karet dapat menggunakan batubara dalam proses pengolahan.
  • Khusus untuk industri gula, upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas giling melalui perluasan tanaman akan dapat menekan porsi biaya tetap (solar) di pengolahan. Di samping itu, upaya peningkatan kinerja peralatan (boiler) melalui penggunaan alat pengering.
Di balik tekanan yang terjadi, kenaikan harga BBM dapat juga dilihat dari sisi peluang yaitu diversifikasi produk (biofuel) dan kenaikan harga produk perkabunan. Produk perkebunan seperti CPO, tebu, dan jarak akan kompetitif diproses menjadi biofuel kalau harga BBM di atas US$ 60/barrel. Jika industri biofuel berbasis produk perkebunan terus berkembang, maka pemanfaatan produk perkebunan akan menjadi semakin luas. Produk perkebunan kini melayani permintaan dari pasar tradisional yaitu industri makanan, dan pakan pasar baru untuk industri biofuel. CPO bisa dijual ke industri minyak goreng yang berakhir di supermarket atau ke industri biofuel yang berakhir di SPBU. Tebu bisa berakhir di pasar dalam bentuk gula atau berakhir di SPBU dalam bentuk bioethanol.

Perluasan pasar produk perkebunan tersebut jelas akan berdampak positif pada subsektor perkebunan. Peningkatan permintaan produk perkebunan ini secara konsisten akan mendorong kenaikan harga dan stabilitas harga produk perkebunan. Peningkatan harga dan stabilitas ini tentu akan mendorong pertumbuhan sektor perkebunan dengan hasil akhir pningkatkan pendapatan dan perluasan lapangan kerja di sektor perkebunan. Peluang ini cukup terbuka, khususnya untuk produk berbasis kelapa sawit dan tebu. Di berbagai negara seperti Jerman dan Australia telah mengembangkan biodisel berbasis minyak nabati (minyak bunga matahari). Malaysia sudah mulai mengembangkan biodiesel berbasis CPO. Dengan agak terlambat, Indonesia juga kini telah meristis pengembangan biodisel seperti yang dilakukan di Pusat Penelitian Kelapa Sawit, ITB, dan BPPT. Dengan biaya produksi masih bervariasi antara Rp 2700-Rp 5500/liter, bergantung pada teknologi dan harga CPO, biodiesel diyakini akan menjadi sumber energi alternatif masa depan. Di samping itu, pengembangan energi alternatif seperti ethanol dari tebu dan singkong juga mempunyai potensi yang cukup besar. Brazil dengan kebijakan switch policy antara menggunakan tebu menjadi gula dan energi alternatif ( ethanol ) merupakan contoh nyata dari upaya tersebut. Ketika harga gula rendah atau harga minyak bumi tinggi seperti sekarang ini, bagian tebu yang diolah menjadi etahnol ditingkatkan, dan sebaliknya. Upaya ini sekaligus merupakan bentuk pengurangan risiko harga/fluktuasi harga bagi usahatani tebu.

Selanjutnya, berbagai produk samping dan limbah kelapa sawit juga berpeluang besar sebagai sumber energi alternatif. Sebagai contoh, s ebuah pabrik kelapa sawit dengan kapasitas pengolahan 200.000 ton TBS/tahun akan menghasilkan sebanyak 44.000 ton Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS). Nilai kalor ( heating value ) TKKS kering adalah 15.5 MJ/kg, dengan efisiensi konversi energi sebesar 25%, dari energi tersebut ekuivalen dengan 1.9 MWe ( megawatt-electric ). TKKS dapat juga dimanfaatkan untuk menghasilkan biogas walaupun proses pengolahannya lebih sulit daripada biogas dari limbah cair. Di samping itu, limbah padat dapat juga diproses menjadi briket arang sebagai sumber energi terbarukan. Dengan teknologi yang relatif sederhana, pemanfatan limbah padat menjadi briket arang merupakan suatu pilihan yang sangat realistis dan prospektif (Lacrosse, 2004).

Dampak lain dari kenaikan harga BBM adalah mendorong kenaikan harga produk perkebunan karena produk pesainya yang berbahan baku atau berkaitan dengan BBM mengurangi penawaran. Karet sintetis yang berbahan baku minyak bumi tidak kompetitif lagi ketika harga BBM melambung sehingga penawarannya menurun drastis. Hal ini mendorong kenaikan produk karet, termasuk harga produk karet alam. Kenaikan BBM turut berkontribusi dalam melambungkan harga CPO dan minyak kelapa pada akhir 2007.

Sebagai penutup, kenaikan harga BBM jelas akan memberi tekanan yang cukup signifikan terhadap kinerja subsektor perkebunan melalui kenaikan biaya produksi, baik memlaui pengaruh langsung maupun tidak langsung. Berbagai upaya strategi penghematan dan penggunaan sumber energi alternatif harus terus dipacu untuk meminimisasi dampak negatif tersebut. Di balik itu, kenaikan harga BBM memberi dua manfaat yaitu diversifikasi produk perkebunan dan peningkatan harga-harga produk perkebunan. Untuk tahun 2007, melambungnya harga BBM membuat subsektor perkebunan untung, bukan buntung.

sumber:http://ipard.com

This entry was posted on Saturday, March 29, 2008 at Saturday, March 29, 2008 and is filed under , . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 comments

Post a Comment