Industri Perkebunan  

Posted by Pebisnis Sejati in ,

Industri berbasis perkebunan ternyata mempunyai kemampuan sebagai leading sector dalam pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja, sekaligus sebagai sektor yang efektif mendorong perbaikan distribusi pendapatan. Ketika Indonesia menghadapi masalah lambannya pertumbuhan ekonomi, meningkatnya jumlah pengangguran, dan makin timpangnya distribusi pendapatan, mendorong industri berbasis perkebunan merupakan pilihan yang sangat strategis.

Krisis ekonomi yang dihadapi Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan tiga masalah mendasar, yaitu perekonomian Indonesia sempat mengalami kontraksi sebesar –13,2% pada tahun 1998, jumlah penganggur diperkirakan mencapai 39 juta orang, dan memburuknya distribusi pendapatan. Dalam rangka memulihan situasi ekonomi, identifikasi sektor atau industri yang dapat berperan sebagai leading sector atau adjusting sector dalam mengatasi masalah tersebut menjadi sangat penting. Pengembangan industri berbasis perkebunan merupakan salah satu pilihan yang cukup realistis karena (i) bisnis perkebunan mempunyai daya tahan tinggi karena berbasis pada sumberdaya domestik dan berorientasi ekspor, (ii) diyakini masih sangat prospektif dengan peluang pertumbuhan berkisar antara 2%–8% per tahun, dan (iii) intensif menggunakan tenaga kerja, khususnya tenaga kerja yang berlokasi di pedesaan. Apakah industri berbasis perkebunan lebih cocok sebagai leading sector atau adjusting sector perlu diidentifikasi sehinga industri tersebut dapat berperan secara optimal dala upaya mengatasi masalah tersebut.

Sejalan dengan hal tersebut, buku ini akan mencoba membahas secara empiris peran industri berbasis perkebunan dalam pemulihan dari krisis ekonomi dan pemerataan pendapatan. Untuk itu, buku ini membahas beberapa hal terkait seperti struktur perekonomian Indonesia secara umum, kontribusi/dampak pengembangan industri berbasis perkebunan terhadap pertumbuhan ekonomi/pemulihan ekonomi secara nasional (PDB), penyediaan lapangan kerja, kontribusi/dampak pengembangan industri berbasis perkebunan terhadap perbaikan distribusi pendapatan; Untuk menguraikan hal tersebut, sebuah alat analisis yaitu Social Accounting Matrix (SAM) Perkebunan dikembangkan. Dengan SAM Perkebunan, berbagai dampak kebijakan yang berkaiatan dengan industri berbasis perkebunan serta ekonomi nasional, dapat diestimasi.

Dengan menggunakan SAM perkebunan dapat diketahui bahwa pada tahun 2003 industri perkebunan primer memberi kontribusi nilai tambah sebersar Rp. 61,1 triliun atau 3,1% dari PDB nasional. Industri hilir berbasis perkebunan memberi kontribusi nilai tambah sebesar Rp. 56,03 triliun atau 2,8% dari PDB. Dengan demikian, industri berbasis perkebunan memberi kontribusi sebesar Rp. 117 triliun atau hampir 6% dari PDB nasional. Dari sisi lapangan kerja, industri perkebunan primer, menyediakan lapangan kerja sebesar 13,4 juta orang, sedangkan industri hilirnya menyediakan sekitar 3,2 juta orang. Dengan demikian ada sekitar 16.7 juta orang yang bekerja pada industri berbasis perkebunan.

Dari segi pertumbuhan ekonomi (nilai tambah), sektor perkebunan primer secara umum, lebih sesuai berperan sebagai leading sector, kurang efektif sebagai adjusting sector yang ditunjukkan oleh dengan daya penyebaran (DP) yang jauh lebih besar dari derajat kepekaan (DK). DP menggambarkan seberapa kuat sebuah sektor/industri menarik pertumbuhan sektor lain jika sektor tersebut berkembang. Di sisi lain, DK mengambarkan seberapa besar dampak pertumbuhan terhadap sebuah sektor jika seluruh sektor lainnya tumbuh. Industri-industri primer perkebunan seperti kelapa sawit, karet, kopi, memiliki nilai DP berkisar antara 2,69 ¬– 3,78. Hal ini berarti, jika inudstri primer perkebunan tumbuh sebesar 1 unit, maka secara nasional ekonomi akan tumbuh antara 2,69 ¬– 3,78 unit, tergantung pada komoditi yang akan dikembangkan. Dengan nilai DK antara 0,01 – 2,17, maka seluruh sektor lain tumbuh sebesar satu unit, maka industri primer perkebunan akan tumbuh antara 0,01 – 2,17. Industri primer perkebunan yang lebih sesuai sebagai leading sector adalah karet, tebu, kelapa sawit, kopi, dan tanaman perkebunan lainnya. Tidak ada satupun industri primer perkebunan yang efektif berperan sebagai adjusting sector. Bahkah beberapa sektor tidak efektif sebagai leading maupun adjusting sector seperti kelapa, teh, cengkeh, kakao, jambu mete, dan lada.

Berbeda dengan industri primernya, industri hilir perkebunan seperti minyak goreng, industri coklat, industri karet, mempunyai peran yang lebih bervariasi dalam pertumbuhan ekonomi dengan daya penyebaran berkisar antara 1,34 – 3,87 dan derajat kepekaan antara 0,01 – 15,48. Industri hilir perkebunan yang lebih sesuai sebagai leading sector adalah industri gula, minyak goreng sawit, kopi bubuk, kopi instan, teh olahan, dan industri teh botol. Industri primer perkebunan yang lebih sesuai sebagai adjusting sector yaitu industri ban dan biodiesel. Selanjutnya, industri hilir perkebunan unggulan yang efektif berperan sebagai leading dan adjusting sector adalah industri rokok dan industri makanan. Industri lainnya seperti minyak goreng kelapa, bubuk cokelat, butter cokelat, dan ethanol adalah industri yang kurang efektif sebagai leading maupun adjusting sector.

Jika dilihat dari sisi distribusi pendapatan untuk tenaga kerja dan modal tampak bahwa industri primer perkebunan cenderung lebih efektif untuk membangkitkan pendapatan untuk tenaga kerja dibandingkan pendapatan untuk modal. Hal ini tercermin dari multiplier pendapatan untuk tenaga kerja lebih besar dari multiplier untuk modal. Multiplier pendapatan untuk tenaga kerja berkisar antara 1,17 – 1,64, sedangkan multiplier untuk pendapatan modal dengan kisaran 0,66 – 0,87. Secara total, karet, tebu, dan teh memiliki multiplier pendapatan yang relatif besar, walau perbedaan antar komoditas tidak substansial.

Hal yang identik juga terlihat pada peran industri hilir dalam distribusi pendapatan untuk tenaga kerja dan modal. Jika industri hilir perkebunan dikembangkan, dampak terhadap peningkatan pendapatan untuk tenaga kerja lebih besar dibandingkan dengan pendapatan untuk modal. Hanya ada dua sektor dimana multiplier pendapatan bias pada modal yaitu industri biodiesel dan ethanol. Untuk industri hilir lainnya, multiplier pendapatan tenaga kerja umumnya lebih besar dari multiplier modal. Beberapa industri yang efektif untuik meningkatkan pendapatan tenaga kerja adalah industri gula, kopi instant, kopi bubuk, teh botol, teh olahan, serta industri makanan lainnya.

Jika dilihat dampak distribusi pendapatan antara rumah tangga dan perusahaan, industri perkebunan primer lebih efektif mendorong peningkatan pendapatan rumah tangga dibandingkan dengan perusahaan. Multiplier pendapatan untuk rumah tangga berkisar antara 1,57 – 2,06, sedangkan multiplier pendapatan perusahaan hampir sama yaitu sekitar 0,4. Dengan demikian, pemerintah dapat menggunakan pembangunan hampir semua industri primer perkebunan untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga.

Hal yang identik juga berlaku untuk industri hilir perkebunan dimana multiplier pendapatan industri hilir untuk rumah tangga lebih besar (0,91 ¬– 1,76) dibandingkan dengan multiplier pendapatan untuk perusahaan (0,22 – 0,54). Beberapa industri hilir perkebunan yang relatif efektif untuk mendorong pendapatan rumah tangga antara lain industri gula, kopi instant, kopi bubuk, teh botol dan teh olahan, industri minyak goreng kelapa, serta industri makanan lainnya.
Jika dilihat secara lebih spesifik, industri primer perkebunan jauh lebih efektif meningkatkan pendapatan rumah tangga di pedesaan dibandingkan dengan di perkotaan. Multiplier pendapatan untuk rumah tangga pedesaan berkisar 0,64 – 0,92. Pada masyarakat pedesaan non-pertanian dan masyarakat perkotaan, dampaknya masing-masing hanya 0,48 dan 0,64. Hal ini kembali menegaskan pentingnya pemerintah untuk mengembangkan industri primer perkebunan untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga di pedesaan.

Di sisi lain, industri hilir perkebunan memberikan dampak lebih memihak masyarakat perkotaan, walaupun perbedaannya tidaklah terlalu substansial. Multiplier pendapatan industri hilir perkebunan untuk rumah tangga pedesaan berkisar antara 0,24 – 0,65, sedangkan untuk masyarakat perkotaan berkisar antara 0,45 – 0,82. Secara umum, industri hilir perkebunan dapat digunakan mendorong peningkatan pendapatan masyarakat kota dan pedesaan. Pemerintah dapat mendorong peningkatan masyarakat melalui pengembangan industri gula, kopi instan, kopi bubuk, teh botol, teh olahan, industri minyak goreng kelapa, serta industri makanan lainnya.

Semua penjelasan ini menegaskan bahwa industri berbasis perkebunan memang mempunyai kemampuan sebagai leading sector dalam pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja, sekaligus sebagai sektor yang efektif mendorong perbaikan distribusi pendapatan. Ketika Indonesia menghadapi masalah lambannya pertumbuhan ekonomi, meningkatnya jumlah pengangguran, dan makin timpangnya distribusi pendapatan, mendorong industri berbasis perkebunan merupakan pilihan yang sangat strategis dan efektif.

sumber:http://ipard.com

This entry was posted on Saturday, March 29, 2008 at Saturday, March 29, 2008 and is filed under , . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 comments

Post a Comment