Jurus “Sabun” yang Membesarkan Unilever  

Posted by Pebisnis Sejati in ,

Siapa yang tidak kenal Unilever? Perusahaan consumer goods berskala multinasional ini sudah menancapkan benderanya di berbagai negara, termasuk Indonesia. Bahkan, produk-produk perusahaan asal Eropa itu bukan saja merambah masyarakat perkotaan, melainkan sudah merangsek sampai ke pelosok desa di negeri kita. Kesuksesan emporium bisnis Unilever tidak datang begitu saja. Sulit dimungkiri, bisnis Unilever ini berdiri di atas fondasi yang ditanamkan sang pendirinya. Asal tahu saja, Unilever adalah merger dua perusahaan besar yang sebelumnya “berseteru”, yakni Margarine Unie dan Lever Brothers. Satu sosok pebisnis sekaligus marketer ulung yang tidak boleh dilupakan di zaman itu dan adalah William Hesketh Lever.

William dikenal sebagai pekerja tangguh, inovatif, dan seorang marketer yang piawai meletakkan dasar-dasar bisnis Unilever hingga berkembang seperti sekarang ini. Lahir di Wood Street, Bolton, Inggris, 19 September 1851, Wiliam dibesarkan dalam keluarga pedagang kelontong. Anak laki-laki pertama dari tujuh bersaudara ini belajar bisnis dari orangtuanya. Pekerjaan pertama William tergolong remeh, cuma menjadi pemotong dan pembungkus sabun yang diproduksi secara batangan. Dari pagi hingga sore hari ia bekerja keras dengan imbalan 7 poundsterling. Ia menjadi mitra bisnis ayahnya sampai tahun 1872. Pada tahun yang sama, William mulai memproduksi Lever’s Pure Honey Soap yang mengantarkannya menjadi pengusaha pabrik sabun. Tidak disangka, produk sabunnya laris. Banyak order datang ke pabriknya. Melihat prospek di pasar sabun begitu cerah, otak bisnis William pun berputar. Ia segera memproduksi sabun secara massal dengan kemasan yang lebih kecil—tidak panjang seperti sebelumnya. Sabun itu diproduksi di pabrik Warrington pada tahun 1884 lewat kemitraan dengan William Hough Watson, seorang ahli kimia. Sabun yang diberi nama Sunlight itu menggunakan bahan baku alami berupa minyak sayur.

Sunlight menjadi pembeda dengan produk sabun lainnya, yang waktu itu menggunakan lemak hewan. Penjualan sabun ini luar biasa. Dalam rentang tiga tahun, pabriknya berhasil menghasilkan 250 ton per minggu dan menjual 40.000 ton sabun per tahun. Setelah itu, ia memindahkan pabriknya ke pinggiran kota Liverpool, tepatnya di daerah Wirral. Desa kecil ini diubah menjadi sentra industri yang kemudian terkenal sebagai Port Sunlight. William berhasil membuka industri yang memberi lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat. Dengan pola ini, rasa kepemilikan masyarakat terhadap pabrik sabun ini menjadi tambah besar.

Pada tahun 1887, Sunlight sudah merambah Eropa, Amerika, dan Afrika. Tentu saja distribusinya melalui jalur pelayaran, baik yang bermotifkan perdagangan maupun kolonialisme. Melalui sabun ini, kerajaan Inggris diuntungkan karena dikenal di benua lain. Lima tahun kemudian, sabun ini cukup diminati oleh pasar Amerika Serikat. Lever Brothers mampu mengembangan pasar di sana. Disusul dengan kampanye pertama soal mencuci bersih dan antibau. Setelah sabunnya sukses “menggosok” banyak negara, William berupaya mengembangkan produknya. Dari inovasinya, lahirlah dua merek sabun lagi, Lifebuoy dan Lux Flakes. Ia juga mulai memproduksi makanan kalengan, mengolah ikan, saus, dan membuat es krim sebagai produk yang mengiringi bisnis sabunnya. Nama yang sudah terlanjur berkibar, membuat bisnis makanan kalengnya cepat diterima di pasar. Bahkan, laju penjualannya begitu pesat. Saat dunia sedang dilanda Perang Dunia I, Lever Brothers yang berbasis di London melirik perusahan Margarine Unie yang berbasis di Rotterdam, Belanda. Merger dilakukan pertama-tama lantaran adanya kesamaan produksi dan bahan baku untuk produk kebutuhan sehari-hari. Hasil merger inilah yang melahirkan perusahaan dengan bendera baru, Unilever. Secara resmi, Unilever berdiri pada 1 Januari 1930. Akibat merger tersebut, Unilever memiliki dua kantor pusat: di London dan Rotterdam. Keuntungan bisnisnya pun harus dibagi menjadi dua dividen. Tetapi, merger ini—dengan ditopang perkembangan teknologi—membuat Unilever berambisi melebarkan sayap bisnisnya.

Kendati demikian, Unilever harus berhadapan dengan kompetitor setara yang juga mulai agresif menguasai pasar. Kompetitor itu tak lain adalah Procter & Gamble, perusahaan yang bergerak di jalur bisnis serupa. Usai mengakuisisi Thomas Hedley Ltd dan menembus pasar Inggris di tahun 1930, Procter & Gamble tidak bisa dianggap remeh. Lebih-lebih, ia juga menjadi saingan berat di pasar Amerika Serikat. Kompetisi ini mendorong William untuk berinovasi. Diproduksilah produk shampo, sabun cair, dan deterjen. Produk margarinnya ditambahkan nutrisi berupa vitamin A dan D. Alhasil, penjualan produk dengan format baru ini mampu membendung ekspansi Procter & Gamble dan menjadikan Unilever sebagai leader di pasar Eropa dan Amerika. Malahan, pada saat Perang Dunia II berlangsung, Eropa dan Amerika mempercayakan pembuatan ransum untuk tentara mereka kepada Unilever. Selain William, sosok yang berperan besar dalam menanamkan nilai-nilai bisnis Unilever adalah Countway. Dia berhasil mempromosikan Lux Soapflakes sebagai sabun yang tidak merusak pakaian berbasis katun dan sutera. Penjualan Lux meningkat berkat jurus marketing Countway. Lalu, dari tangannya keluarlah Rinso dan Lux Toilet Soap. Baik William maupun Countway mengamini pentingnya promosi dan advertising. Jurus ini masih sering digunakan Unilever untuk setiap produknya sampai sekarang. Usai Perang Dunia II, dunia dilanda consumer boom. Eropa mengalami peningkatan standar hidup. Unilever segera memfokuskan diri pada peranan teknologi untuk meningkatkan kualitas sekaligus memasarkan produknya. Port Sunlight dijadikan sentra penelitian dan pengembangan produk. Unilever berekspansi dengan mendirikan pabriknya di banyak negara, termasuk Indonesia. PT Unilever Indonesia didirikan pada 5 Desember 1933 sebagai Zeepfabrieken NV Lever dengan akta no. 33 yang dibuat notaris AH Van Ophuijsen dan disetujui oleh Gubernur Jenderal van Negerlandsch-Indie. Strategi sukses generasi Unilever sekarang tidak lepas dari fondasi awal yang ditanamkan oleh William. Salah satunya, membangun brand image. Unilever senantiasa mengedepankan brand image produk-produknya ketimbang nama Unilever itu sendiri. Jaringan distributor yang ada di mana-mana juga menjadi kekuatan mereka. Selain itu, misi Unilever sekarang pun tidak lepas dari misi yang dulu dianut William, yakni menciptakan tempat tinggal bersama yang bersih; mengurangi beban kerja untuk perempuan; meningkatkan kesehatan dan meningkatkan daya tarik pribadi; hidup lebih menyenangkan; dan berarti bagi para konsumen. Semua itu dirumuskan dalam satu kata: vitalitas. Sepertinya, jurus “sabun” William ikut melicinkan jalan raksasa bisnis ini sekarang. Lebih-lebih jika ditopang dengan kecanggihan teknologi pemasaran yang belum sempat terbayang di kepala William pada saat itu.

Sumber:http://marketing.co.id

This entry was posted on Friday, March 28, 2008 at Friday, March 28, 2008 and is filed under , . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 comments

Post a Comment